YUDA APRIANSYAH. Beralamat di Jalan Raya kong pesawaran Lampung . Anak pertama dari dua bersaudara ini lahir di lampung, tanggal 24 juni 1993. Masih merambah dalam dunia kepenulisan.
guru kesejatian
guru kebenaran
guru dalam dogma
ia bertahta di nurani
sesal: hati hati dalam berlaku
kerna sesal menunggu di depan
pintu lalu ia menikam dengan penuh nafsu.
di penghujung malam
kulihat tawa dan senyummu
Kuingat sebuah nostalgia lama
kita saling berbagi rasa
berbagi tawa dan tangis
tanpa terasa
telah cukup lama kita tak beranjangsana
saling menyapa lidah
menelan ludah manis dan kelam bersama.
saat di puncak kesendirian, sesuai titah takdir
aku mencari bunga dengan
menyatukan utara dan selatan pada garis jejak
tetapi yang kutemui
hanyalah sekuntum mawar
yang baunya mengutuk langit dan bumi,
memakamkan sisa ceritaku.
karang berukuran selubang jantung tanpa ombak menubruk rumah batu mata anginku bertabrakan pada gravitasi antara dan kau menyusui sepi yang abadi kekasih, di tanah ini semua terasa samar khuldi berwarna abu-abu disimpul pohon kering reranting tak bersuara bahkan capung yang kau berikan mematahkan sayapnya sendiri kekasih aku kan menjemputmu di penghabisan, bukan karena bibirku berubah warna oleh tanah jemariku satu-satu berdoa lebih patah di sini gerimis jatuh ke arah langit tanpa sehelai padi terbagi bulirnya mengalir ke telaga waktu berwujud potongan sepi kubermain badai setiap hari membaui tanah menggugurkan kenangan pada tanah.
kabarkan dukamu kekasih
ijinkan aku mencecapnya
hingga tandas dan tiada buih tangis lagi
di matamu
bernyanyilah kekasih
terompetmu masih kusimpan di saku
dan muntahkan empedu
kesunyian bukanlah temanmu
dan anggur tak bisa menghilangkan dahagamu
kemarilah kekasih
bernyanyilah
bersamaku
menelan manisnya empedu.
selepas jabat tangan yang aneh itu entah pesan apa yang kau selipkan di dadaku hanya tafsir-tafsir tanpa keyakinan menjelma seperti teriakan-teriakann dendam bagai pisau belati yang pernah kutanamkan di anak rahimmu ia menjelma juga jadi kata-kata membentuk teriakan-teriakan hebat :"bunuh saja dirimu !!" katamu dalam pikiranku bunda, sungguh apakah sebenarnya? sementara aku masih saja meramalkan masa dan hari-hari panjang lewat kesadaran yang lahir bersama raga juga doa-doa yang kuhaturkan selagi kematian selalu datang membayang atau sebelum kedatangan pesan yang kau selipkan itu aku hampir saja melambaikan tangan, bunda andai kau relakan tangan itu untuk ku cium mesra sungguh bunda panggil aku anak sekali saja agar aku bebas terbunuh dalam sepi yang mendera.
oleh Ririn Arivatus dan Yuda Apriansyah
senja perlahan pergi membawa cinta yang baru saja tiba di halaman hatiku kudapat dari berlayar jauh menjelajah pulau satu demi satu ketika itu kapalku diterpa hujan dan badai salju kerap terbayang gagal sampai ke teluk hatimu
waktu berjalan begitu lama hingga hari yang dinanti pun tiba izinkan aku mengecupmu lewat puisi sebelum engkau pergi dan kurindukan lagi
Kupandang geliat laknat nanar mata picik siasat, Entah apa tuju yang hendak ia perbuat? Kusimpan lecut cemeti api tuk jerat ia dalam kisi jeruji mati! kelak Kala abadi tak berpihak padanya lagi.
Apa kabarmu cinta?
setelah kereta dengan lengking peluit, bertiup lagu angin pada arah yang sama, senja jadi tak sama. memberangkatkan engkau, kekasih dengan bibir melati dan nikotin yang meracun diri. aku belajar menyendiri. mengurung denyar nadi dan gairah binalku pada malam yang terlampau suram. tak ada lagi erang yang menjelaskan kenapa cinta mesti dipersetubuhkan dalam lengang.
Kekasih, kapan kau pulang?
menangkup tubuh dalam gelung yang tenang. aku sudah bosan mendengar lirik-lirik tak manis pada nyanyian yang berpura melankolis. semuanya amis dan membuat rindu makin teriris. keretamu lama tak tiba. peluit yang dulu kudengar, tersesatkah tiupnya ke badai getar. aku takut belajar untuk melupa. jangan tunggu sampai aku menjadi purba dan rumah hatiku kehilangan serambi untuk kita berjumpa.
Sekian mil dari retina mungil!
ada ruang lengang tempatku menabuh bimbang. dari bola mataku, keretamu datang terburu-buru. rupanya hanya mimpi dari ujung malam yang ingin melucu. aku tak ingin itu, jenaka yang membuatku sesak rindu. aku hanya ingin kereta kekasihku tiba. dan peluitnya dari jauh sudah membuatku merias diri dengan cinta. dalam debar, seperti pengantin yang menyelinap ke ranjang, berlari aku menyambut engkau dengan jerit terlontar ke langit siang. kapan semua terbentang dan dari bola mata, keretamu akhirnya datang?
Kekasih yang dibawa oleh kereta senja!
di telinga, bisik-bisik angin utara menghentikan detak jantung seketika. engkau belajar mendua, sementara setiaku menua. aku memejamkan mata ataukah memang langit gelap pada waktunya, entahlah. jadi, keretamu takkan pernah tiba. membawamu serta dan menjadikanmu wanita paling berbahagia dengan cinta yang tak pernah sama kau kecup dan kau rasa. aku harus apa, menggilaimu di dinding bayang-bayang ataukah melempar diriku pada malam, dengan rambut yang terpatah gelungnya. kupilih yang kedua. berharap kau melihatku dengan rupa terkesima. dan lidahmu terpecah dalam dosa.
Apa kabar wanita yang dibawa kereta dalam senja?
sekian mil dan waktu yang melenyapkan. kenapa mesti kau datang setelahku melupakan. setiap jengkal dariku, engkau kan menemui perubahan. lagu lama tak pernah sama ketika kau nyanyikan. sementara aku bergulat dengan pucuk-pucuk pikiran dan menyerap kenangan yang dulu terperangkap di soda-soda minuman yang kita lelehkan. peluitmu mengguncang labirinku. hentikan itu, atau kupecahkan tepat di depanmu. jangan pernah engkau berkata, dunia menuliskan kitab perjalanan yang sama dan memafkan semua wanita pendosa. oh, kau pikir aku dewa bertangan dua yang mengulur cinta di kedua dada?
Pergilah ke kereta senja!
kau tahu, dunia menjadi bulir hujan di lengkung mata. bergulir berjuta kali dan kuhitung dalam senyap sepi tertahan. engkau telah tertelan dan kuremas menjadi butiran. untuk apa engkau perjuangkan, sesuatu yang serupa mentari tenggelam? pergilah, jauh ke ujung rel senja. sementara alam masih menghidupkan aku dengan sabar dan senyum tenang setenangnya. pergilah berlalu. selagi tak ada deru. sia-sia kau mencari sisa semacam partikel yang ingin kau formulasikan lagi dalam bentengmu. ambillah, yang kupunya zarah debu, bukannya cinta dalam selarik prosa. mari kuajari kau apa artinya kesedihan mari belajar mengenal penantian agar kelak kau memahami kehilangan 1 mil 2 mil 3 mil 4 mil 5 mil peluitmu menjerit, kereta berlari, hati tak terpenuhi. mimpi membelakangi diri. pantaskah kuulangi cinta yang membuatku dehidrasi dulu dan kini?
kepada: A
apa maksud menuangkan air kegelapan? penjelmaan ini telah terbagi dalam katup tak tentu jiwa akan terurai dalam dimensi yang sesak "maka cobalah berlari melepaskan diri atau kau kulempar sambil kucemeti"
kepada: A
rasakan denyut memanggilmu wahai perempuan hina dina selama matahari terbitnya dari timur dan air sungai masih mengalir ke laut walau sekejap kau tak bisa luput dariku
cukup suaramu sampai di sini bulan sabit yang menggigil kedinginan sang waktu berjalan gontai dalam lorong yang akan segera berujung.
engkaulah dengan perkataanmu membual, membersit, meracuni umat manusia memuliakan segala sesuatu yang ada sebagai pedoman, teladan jiwa
kau selimuti tubuhku dengan buah pikirmu menjerat dengan untaian kata akankah hal ini menjadi keinginanmu?
tabu bukan suatu kemungkinan di antara kemunafikan jendela dunia yang hadir dalam risalah pengetahuan suatu hari nanti, menjadi suratan yang tak terbaca rawatlah aku sebagai risalahmu tentang dunia yang tak dapat berbicara.
pandangan mata tertuju ruangan hitam di balik kain, ada sesuatu yang lain yang paham pada cahaya dan suara-suara
selalu ada alasan untuk meraba-raba juga menerka-nerka siapakah dalang dari pertunjukan ini?
terabaikanlah tanda-tanda
cahaya yang celaka.
seperti batang nangka yang patah aku memang menebar getah dari segala penjuru arah
maka aku pukat engkau
yang kian nyalakan igau
terjeratlah wahai balam yang jinak-jinak-liar
akuilah langit yang lapang ini
tak akan habis jika engkau terbangi
hanya sendiri.
langit mendung tertutup awan pekat terurai dalam angin malam menggugah melodi asmara di setiap detik alunan simfoni keindahan mataku adalah batinku hatiku adalah jiwaku yang melayang menderai hingga ujung nirwana meruang di setiap raga kehidupan inikah alasan aku disini? alasan kenapa aku menerima semua ini? pancaran mata penyejuk hati mendoa derai asmara suci.
Apakah aku yang telah matang
atau rahim yang telah bosan
purnama yang menyambut
atau purnama yang menciut
dalam gugusan waktu berjiwa
atau hanya tiupan nyawa!
dari setetes air hina
akankah kembali fitrah?
sujud pun kehilangan makna
air susu menjadi sia sia
akal berfikir getir namun gerak terus menyindir
terlupa akan arti zikir.